Oleh: Wiko Antoni
Dosen PBSI Universitas Merangin
Menulis puisi itu semacam memasak kuah kehidupan: kalau hambar, orang lupa. Kalau terlalu asin, orang mual. Tapi kalau pas? Orang menangis tanpa tahu kenapa. Di sinilah puisi tinggal—di antara lidah dan dada. Banyak yang menganggap menulis puisi seperti menanam duri dalam dada karena ia akan berkembang menjadi kesakitan yang abadi tapi hidup adalah kesakitan tanpa Mau mengakui kesakitan ini justru akan membiarkan diri dalam kematian.
Kematian? Oh. Ya. Kematian karena hidup Ini adalah kepura-puraan dan kepura-puraan adalah kematian dalam kehidupan. Muncul sebagai sosok yang diinginkan lingkungan bukan menikmati keunikan pribadi yang merupakan anugerah Tuhan.
I. TEKNIK MENULIS PUISI: ANTARA WAHAYU DAN WARKOP
1. Mulailah dari luka atau kopi
Kalau Anda belum patah hati, cobalah utang. Inspirasi sering kali datang lewat surat tagihan atau kenangan mantan. Sajak terbaik kerap lahir dari keresahan, atau dari kopi yang terlalu pahit—yang mana keduanya sama-sama bikin begadang.
Tapi saya jamin tak ada orang yang tak pernah kecewa oleh kenyataan. Jadi kalau anda bilang aku tak bisa menulis apa apa karena hidup saya baik baik saja anda akan berhadapan dengan kenyataan bahwa anda baru saja berbohong pada diri anda sendiri.
Jujur pada kesaktian dan goreskan jadi bait bait yang menginspirasi adalah kecerdasan luar biasa dari pada memendam kesakitan dengan kepura puraan.
2. Gunakan metafora yang nyeleneh tapi tepat sasaran
Alih-alih berkata "dia cantik", katakan:
"Matanya dua lubang waktu yang menelanku tanpa permisi."
Penyair bukan Google Translate. Puisi tidak lahir untuk menjelaskan, tapi menyulut tanda tanya.
Ya itu adalah strategi untuk membuat puisi jadi sesuatu yang menjengkelkan. Buka. Membuat objek menjadi angkuh dan menganggap anda pemuja dirinya. Bagaimanapun menulis puisi bukan membuat surat cinta tapi menggoreskan dunia penuh luka di kertas penuh warna.
Carilah idiom anda sendiri. Jangan jangi plagiasi atau menjadi epigon orang lain. Jangan menganggap puisi orang lain adalah mahakarya yang patut di contoh tapi jadikan apresiasi yang menginspirasi, selanjutnya jadilah diri kamu sendiri.
3. Potong! Potong! Potong!
Puisi yang baik seringnya adalah puisi yang dipangkas. Kata-kata boros itu seperti politisi menjelang pemilu—berisik tapi minim isi. Hapuslah dengan kejam, sisakan yang menggigit.
Jangan takut puisi kamu tinggal sedikit. Bukan karena banyaknya kalimat puisi jadi bagus. Bukan pula karena panjangnya puisi menjadi berkualitas. Puisi penuh dengan pesan yang padat. Bukan sekedar indah di baca tapi juga penuh makna.
Kalau dalam hidup manusia dipilah dan di seleksi oleh hidup secara brutal .aka dalam puisi kata dan kalimat harus rela bersaing untuk jadi diksi yang tepat agar bisa dipilih penyair salam puisi.
4. Baca keras-keras di kamar mandi
Kalau gema puisimu membuatmu merinding, mungkin kamu berhasil. Atau mungkin kamu sedang pilek. Tapi serius—puisi punya musik, bahkan tanpa nada.
Kalau mau belajar membuat puisi yang indah. Kamu dulu harus merasakan keindahan puisi ya g dibuat. Jangan malu membiarkan kecoak dan lipas di kamar anda menjadi penonton dan penikmat perdana pusimu lagi pula hanyalah mereka yang peduli pada puisi pemula.l
Baca rasakan dan nikmati. Kalau kau sudah rasa Puisi itu indah diskusi dengan orang yang sama sama suka dengan puisi dan berdiskusi dengan terbuka dan lapang dada. Jangan marah di kritik lapang dada dengan saran danpenilan. Negatif.
II. MANFAAT MENULIS PUISI: SEMACAM TERAPI DENGAN EFEK SAMPING KEMULIAAN
-
Membuatmu waras di dunia yang makin gila
Dunia penuh suara tapi miskin makna. Menulis puisi adalah cara menyaring kebisingan, mengendapkan makna dari debu realitas. Kadang, menulis puisi lebih mujarab dari sesi konsultasi di klinik jiwa. -
Mendekatkan pada Tuhan atau kegilaan
Banyak penyair besar hidupnya dekat dengan dua hal itu—dan kadang, sulit dibedakan. Tapi yang jelas, saat menulis puisi, manusia merasa lebih hidup. Atau setidaknya, lebih jujur pada dirinya sendiri. -
Menciptakan sejarah alternatif
Puisi bisa lebih tajam dari pedang, lebih keras dari bom. Bukan karena bunyinya, tapi karena ia mengendap. Di kepala. Di hati. Di sejarah.
III. PUISI YANG MENGUBAH PERADABAN: BUKTI KATA-KATA BISA MERUNTUHKAN ISTANA
1. “Do Not Go Gentle into That Good Night” – Dylan Thomas (Wales)
Sajak ini bukan hanya tentang kematian, tapi perlawanan. Menjadi penyemangat bagi pejuang kanker, aktivis HAM, bahkan pembangkang negara otoriter. Ternyata, satu larik "Rage, rage against the dying of the light" bisa lebih membakar daripada orasi politik.
2. “If We Must Die” – Claude McKay (Jamaika–Amerika)
Ditulis saat kekerasan rasial meledak di AS tahun 1919. Sajak ini jadi manifesto perlawanan kaum kulit hitam, dikutip bahkan oleh Winston Churchill. Ironis: sajak tentang diperlakukan seperti babi, justru membuka martabat manusia.
3. “Indonesia 1966” – WS Rendra
Yang satu ini tak usah jauh-jauh. Rendra menulis bukan dengan tinta, tapi darah. Puisinya menjadi amunisi moral di tengah kejumudan Orde Baru. Jika Soeharto punya tentara, Rendra punya kata.
4. “Tiga Baris” milik Bashō (Jepang)
Puisi haiku-nya tampak remeh: cuma katak, kolam, dan suara cipratan. Tapi dari puisi itulah dunia mengenal keheningan sebagai estetika. Dalam dunia yang gaduh, puisi Bashō adalah revolusi diam-diam.
5. “The Second Coming” – William Butler Yeats (Irlandia)
Ditulis pasca Perang Dunia I. Sajak ini menyiratkan kiamat zaman, dengan larik terkenal:
"Things fall apart; the centre cannot hold."
Dua abad kemudian, masih dikutip untuk menjelaskan politik dunia. Puisi ini seperti ramalan horor—selalu relevan, selalu meresahkan.
PENUTUP: MENULIS PUISI ITU SEPERTI MENYAPU LANGIT
Tak semua orang menulis puisi, tapi setiap orang menyimpan satu puisi dalam dirinya—kadang terkubur, kadang malu-malu, kadang meledak saat krisis.
Jadi, saat dunia terasa konyol, tulislah puisi. Saat cinta terasa palsu, tulislah puisi. Saat hidup terasa terlalu serius, buatlah ia menjadi sajak—karena kadang satu bait bisa menertawakan seluruh sistem dunia.
Anah ambil kertas dan pena sekarang. Mulai tulis bagaimana harimu hari ini. Tulis bagaimana buruk dan menjengkelkan hidup ini atau ..
Kalau lagi bahagia berbagilah kebahagiaan itu dengan kami semua. Kami ingin tahu bagaimana kau memandang dunia.
Dan ingat: kalau puisimu tidak mengubah dunia, setidaknya ia bisa mengubahmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar