Kamis, 28 Agustus 2025

KAULAH YUNIKU SAYANG

Akulah Yunimu Sayang: Puisi sebagai Refleksi Sufistik dan Psikologis atas Luka, Cinta, dan Jalan Pulang

Penulis: Kembara Sukma


---

πŸ“„ Abstrak

Bahasa Indonesia
Puisi “Akulah Yunimu Sayang” adalah teks batin yang menyuarakan pergulatan antara cinta manusiawi, luka psikis, dan kerinduan akan Sang Khalik. Artikel ini menelaah puisi tersebut melalui lensa sufistik—dengan konsep tauhid, fana, dan baqa—serta klarifikasi psikologi modern tentang trauma, proyeksi, dan resiliensi spiritual. Analisis ini menunjukkan bagaimana puisi dapat menjadi wadah sublimasi, mengubah derita menjadi makna, kehilangan menjadi jalan pulang, dan cinta fana menjadi cahaya makrifat. Lebih jauh, karya ini memperlihatkan potensi puisi digital sebagai medium pembelajaran yang tidak hanya estetis, tetapi juga terapeutik.

English
The poem “Akulah Yunimu Sayang” embodies an inner struggle between human love, psychological wounds, and longing for the Divine. This article examines the poem through a Sufi lens—emphasizing tauhid, fana, and baqa—while integrating psychological perspectives on trauma, projection, and spiritual resilience. The analysis reveals how poetry transforms suffering into meaning, loss into return, and finite love into divine illumination. Moreover, it highlights the role of digital poetry as a transformative and therapeutic medium in contemporary literary education.

Keywords: Sufism, psychology of love, trauma sublimation, digital poetry, spiritual resilience


---

πŸͺ· Pendahuluan: Luka yang Membuka Jalan

Setiap puisi lahir dari rahim perasaan. Namun “Akulah Yunimu Sayang” lahir dari sesuatu yang lebih dalam: luka yang menolak sembuh, cinta yang menolak padam, dan doa yang tak pernah putus. Dalam sosok Wahyuningsih, penyair menemukan bukan sekadar “yang dicinta”, melainkan anima—pantulan jiwa yang sekaligus indah dan menyakitkan, fana sekaligus abadi.

Di sinilah relevansi akademik puisi ini: ia membuktikan bahwa teks sastra bukan sekadar permainan kata, melainkan naskah eksistensial. Ia merekam bagaimana kehilangan personal dapat ditransformasikan menjadi makrifat spiritual. Kekhasan ini menempatkan karya tersebut sebagai objek kajian sufistik sekaligus psikologis, sekaligus contoh konkret arts-based research dalam tradisi puisi digital kontemporer.


---

🌌 Analisis Sufistik: Fana, Baqa, dan Cahaya Pulang

Puisi ini berdenyut dalam ritme sufisme.

1. Tauhid sebagai inti cinta

> “Aku mencintaimu dengan caraku sendiri / Aku memaknaimu dengan tafsirku sendiri”
Menunjukkan cinta yang awalnya personal, namun perlahan diarahkan kembali pada Yang Maha Tunggal.




2. Fana dan Baqa
Kehilangan pribadi dilihat bukan sebagai akhir, melainkan sebagai fana: penghapusan diri agar tersisa hanya Allah. Dari sana lahir baqa: keberlangsungan cinta dalam bentuk yang lebih murni.


3. Simbolisme spiritual

Air mata = pembersihan jiwa.

Bunga layu = kefanaan cinta duniawi.

Matahari setiap pagi = cinta ilahiah yang tak pernah absen.




Puisi ini adalah zikir yang disamarkan dalam metafora. Kehilangan manusia berubah menjadi jalan menuju pengenalan Tuhan.


---

🧠 Klarifikasi Psikologis: Trauma yang Disublimasi

Dalam kerangka psikologi modern, puisi ini dapat dibaca sebagai terapi diri.

Trauma relasional
Kehilangan Wahyuningsih adalah luka afektif yang sejalan dengan teori attachment John Bowlby—di mana keterikatan yang terputus meninggalkan jejak mendalam.

Tahap kehilangan
Ekspresi dalam puisi ini melewati fase denial, anger, bargaining, depression, acceptance ala KΓΌbler-Ross, meski tidak linear, melainkan siklis.

Sublimasi
Freud menyebut sublimasi sebagai mekanisme pertahanan paling kreatif: energi cinta yang tertahan dialihkan ke dalam karya. Puisi ini menjadi bentuk sublimasi yang estetis sekaligus terapeutik.

Resiliensi spiritual
Seperti Viktor Frankl menulis, makna dapat ditemukan bahkan dalam penderitaan. Di sini, penyair menemukan makna lewat doa, simbol, dan imajinasi kreatif.



---

πŸŽ“ Implikasi Akademik

1. Pembelajaran puisi – Puisi ini dapat dijadikan studi kasus dalam kelas apresiasi sastra: bagaimana kata menjadi medium penyembuhan.


2. Digital humanities – Puisi digital berbasis AI membuka ruang baru bagi estetika Melayu kontemporer untuk bersanding dengan teknologi.


3. Etika naratif – Kejujuran emosional penyair membuktikan bahwa pengalaman personal bisa diolah menjadi pengetahuan akademik tanpa kehilangan nilai universalnya.




---

πŸŒ… Penutup: Kembali pada Yang Maha Memiliki

“Akulah Yunimu Sayang” adalah catatan luka, tapi juga doa panjang. Ia mengajarkan bahwa kehilangan tak selalu harus disembunyikan; kadang ia justru adalah pintu. Dari pintu itu, penyair belajar bahwa cinta yang hancur dapat direstorasi sebagai cinta yang lebih tinggi—cinta yang tidak lagi bergantung pada “yang fana”, tetapi berakar pada Yang Maha Abadi.

Dengan demikian, puisi ini tidak hanya karya sastra, tetapi juga dokumen spiritual-psikologis: saksi bahwa jiwa manusia mampu mengubah penderitaan menjadi jalan pulang.


---
Kepustakaan 

Al-Ghazali. (2005). Ihya Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn ‘Arabi. (1980). Fusus al-Hikam (A. E. Affifi, Trans.). Great Books of the Islamic World.

Nasr, S. H. (1989). Knowledge and the Sacred. State University of New York Press.

Bowlby, J. (1982). Attachment and loss: Vol. 1. Attachment (2nd ed.). Basic Books.

KΓΌbler-Ross, E. (1969). On death and dying. Macmillan.

Freud, S. (1923/1961). The ego and the id (J. Riviere, Trans.). W. W. Norton.

Frankl, V. E. (2006). Man’s search for meaning. Beacon Press.

Nasution, H. (1972). Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Universitas Indonesia Press.

Antoni, W. (2025). Akulah Yunimu Sayang [Digital performance]. YouTube.

Kembara Sukma. (2025). Puisi digital: Tuah + Kirana [Video]. YouTube.

KAULAH YUNIKU

Kau Yuniku
Puisi emosional orang dewasa 

ENGKAULAH YUNIKU SAYANG: Puisi Cinta yang Ditolak Kota, Dikenang Jiwa
Kembara Sukma

---

🧾 Abstract (English)
This paper analyzes the poem Engkaulah Yuniku Sayang by Kembara Sukma as a poetic testimony of love that was socially rejected but spiritually preserved. Through an urban sociological lens, the poem reflects the tension between personal affection and public stigma in a transitional cityscape. Freud’s and Jung’s psychoanalytic theories are used to interpret the poem as a sublimation of trauma and a process of individuation. Peirce’s semiotic framework is applied to decode the symbolic structure of the poem. The study affirms that poetry can serve as a sanctuary for marginalized love and a mirror for urban emotional resistance.

---

1. Latar Kisah: Cinta yang Dibentuk oleh Kota dan Ditolak oleh Norma

Engkaulah Yuniku Sayang lahir dari pengalaman cinta yang tidak diberi ruang oleh norma sosial. Dalam lanskap semi-urban yang sarat pengawasan moral, cinta yang melawan arus sering kali dianggap sebagai ancaman. Tokoh dalam puisi ini mencintai seorang perempuan dari latar yang tidak diterima oleh masyarakat: dunia malam, spiritualitas alternatif, dan stigma keluarga.

Namun cinta itu bukan sekadar hasrat. Ia adalah bentuk pengorbanan, pembentukan, dan penyelamatan jiwa. Ketika cinta itu dipisahkan oleh tekanan sosial dan intervensi gaib, sang tokoh tidak membalas dengan dendam, melainkan dengan puisi. Ia menulis bukan untuk menjelaskan, tapi untuk menyimpan sejarah jiwa yang tak bisa dijelaskan secara terang.

Dalam pendekatan sosiologi urban, puisi ini mencerminkan segresi moral dan konflik nilai yang sering terjadi di kota-kota kecil yang sedang mengalami transisi budaya. Kota bukan hanya ruang fisik, tapi juga medan penghakiman, di mana cinta bisa menjadi korban dari sistem yang menolak kompleksitas jiwa.

---

2. Analisis Psikoanalitik: Freud dan Jung

πŸ”₯ Freud: Sublimasi dan Represi
Puisi ini adalah bentuk sublimasi dari trauma cinta yang tidak bisa dijalani secara sosial. Dalam teori Freud, puisi menjadi saluran bagi dorongan bawah sadar yang ditekan oleh norma. Cinta yang tidak bisa diungkapkan secara terang, akhirnya muncul dalam bentuk simbolik: bunga layu, matahari pagi, ruam luka.

Freud juga menyatakan bahwa id, ego, dan superego saling berperan dalam konflik batin. Dalam puisi ini, kita melihat ego sang tokoh berusaha menengahi antara keinginan untuk kembali dan realitas bahwa cinta itu telah dilepaskan. Puisi menjadi mekanisme pertahanan jiwa, seperti sublimasi dan proyeksi, untuk mengatasi kecemasan dan rasa kehilangan.

🌌 Jung: Anima dan Individuasi
Carl Jung melihat puisi sebagai perwujudan dari arketipe jiwa, terutama dalam pertemuan dengan anima—sisi feminin dalam jiwa laki-laki. Sosok perempuan dalam puisi ini bukan hanya tokoh nyata, tapi juga simbol dari anima yang membentuk dan menyembuhkan. Mimpi-mimpi tentang rumah sepi, jalan yang terlupa, dan kehilangan adalah manifestasi dari bayangan jiwa yang sedang mencari penyatuan.

Puisi ini menjadi bagian dari proses individuasi, di mana sang tokoh menyatukan kesadaran dan ketidaksadaran, luka dan cinta, masa lalu dan masa kini.

---

3. Pendekatan Semiotik: Charles Sanders Peirce

Dalam teori semiotik Peirce, puisi ini mengandung:

- Ikon: Imaji visual seperti “bunga layu”, “matahari pagi”, dan “ruam luka” sebagai representasi langsung dari perasaan.
- Indeks: Kalimat seperti “Aku menadah ludah ini di hatimu nan tak mampu ku beri” menunjukkan hubungan kausal antara tindakan dan luka batin.
- Simbol: Frasa “Engkaulah Yuniku Sayang” adalah simbol dari cinta yang tidak bisa dijelaskan, tapi tetap hidup sebagai makna spiritual.

Puisi ini bukan hanya teks. Ia adalah sistem tanda yang menyimpan sejarah jiwa, luka, dan keberanian untuk tetap mencinta. Ia menjadi arsip spiritual yang menolak dilupakan, bahkan ketika dunia menolak mengakuinya.

---

πŸ–‹️ Biodata Penulis

Nama Pena: Kembara Sukma  
Tempat Tinggal: Tabir, Jambi, Indonesia  
Bidang: Sastra, Pendidikan, Seni Digital, Filsafat Jiwa Melayu

Kembara Sukma adalah penulis yang menulis dari ruang batin yang sunyi, dari luka yang tidak bisa dijelaskan, dan dari cinta yang tidak bisa dimiliki secara sosial. Ia percaya bahwa puisi bukan hanya estetika, tapi pengembaraan jiwa yang tak terlihat oleh dunia.

Di balik nama pena ini, terdapat “shadow self”—sisi diri yang samar, yang tidak selalu bisa dijelaskan secara terang. Ia adalah bagian dari jiwa yang pernah mencinta dalam diam, yang pernah ditolak oleh struktur sosial, dan yang kini memilih untuk menulis sebagai bentuk perlawanan terhadap penghapusan jiwa.

---

πŸ“š Daftar Pustaka

1. Agustiani, Ersha. Potret Masyarakat Urban dalam Antologi Puisi Di Atas Viaduct. Universitas Pendidikan Indonesia.  
   https://repository.upi.edu/53164

2. Rahayu, Ika Sari. Analisis Semiotika Puisi Chairil Anwar dengan Teori Peirce. Universitas Bunda Mulia.  
   https://journal.ubm.ac.id/index.php/semiotika/article/viewFile/2498/2088

3. Lesmana, Aditya. Analisis Teori Sastra dalam Konteks Psikologi Jungian. Kompasiana.  
   https://www.kompasiana.com/adityalesmana4434/671a51a434777c26344e4044

4. Retizen Republika. Cinta dalam Teori Sosiologi.  
   https://retizen.republika.co.id/posts/230760/cinta-dalam-teori-sosiologi

5. Freud, Sigmund. The Interpretation of Dreams. Translated by James Strachey. Basic Books, 2010.

6. Jung, Carl Gustav. Man and His Symbols. Dell Publishing, 1964.

7. Peirce, Charles Sanders. Collected Papers of Charles Sanders Peirce. Harvard University Press, 1931–1958.

8. https://www.facebook.com/share/p/1Bq971xWjT/


Kamis, 14 Agustus 2025

puisi

sosiologi sastra

Sosiologi sastra 

Agusto Comte adalah seorang Dokter yang memperlihatkan pola kehidupan masyarakat dengan caranya sendiri. Usahanya menyelaraskan pola tubuh dan sebuah masyarakat melahirkan sebuah gagasan struktural yang sampai saat ini menarik diperbincangkan.
Menurut Comte sebuah masyarakat senarai dengan tubuh Dimana satu bagian sakit akan berpengaruh pada seluruh tubuh ini. Gagasan ini pula yang akhirnya menjadi dasar teori sosial berikutnya seperti fungsionalisme atau teori konflik.
Untuk memahami pandangan Comte kita harus beranalogi dengan melihat tubuh kita sendiri. Semisal  mata' kita sakit maka kita akan kesulitan melihat demikian juga kalau kaki kita terluka maka kita akan susah berjalan.
Pandangan ini dianggap senarai dengan sebuah masyarakat yang saling menopang dalam Sebuah struktur yang saling bergantungan satu sama lain. Ilmu ini akhirnya menjadi cara pandang pokok dalam sosiologi modern. Meskipun demikian pengetahuan ini juga sudah dikembangkan oleh Ibnu Khaldun jauh sebelum Comte. Ibnu Khaldun menarik sistim masyarakat arab yang bersuku suku dinaman masing-masing suku memegang peran sendiri dalam konteks kepentingan di lingkungan tanah Arab dimasanya hidup. Bila salah satu masyarakat suku ini tak berperan akan berpengaruh pada kelangsungan tradisi arab waktu itu.
Berdasarkan pemikiran diatas maka dalam mengkaji karya sastra dapat ditarik Sebuah prespektif bahwa persoalan yang digambarkan dalam karya sastra adalah sebuah ketidakpuasan pengarang pada situasi timpang yang dari cara pandangnya menimbulkan konflik. Karya yang ia sajikan adalah sebuah analogi nyata pada kerusakan struktur tersebut yang pada gilirannya mengakibatkan konflik yang menurutnya perlu dibicarakan minimal dalam konteks inajinasi.

Penulis:
Wiko Antoni

Sabtu, 09 Agustus 2025

Wiko Antoni Sastrawan Alumni dan anggota pendiri diri "Kuflet-Padangpanjang"

BIODATA PENULIS BUKU CATATAN “PERANG” SEORANG SENIMAN ACEH


Wiko Antoni lahir di Rantaupanjang 4 April 1978. aktif berteater semenjak SLTP dengan mengikuti sangar keliling “Taruna Muda” yang merupakan sanggar teater Ludruk dan ketoprak di daerah transmigrasi Hitam Ulu, kabupaten Merangin (sekarang kecamatan Tabir Selatan)..
Sudah menulis sejak SD, pertama kali cerpen dipublikasi adalah “Bunga Merah dalam Dusun” yang mendapat juara 2 lomba menulis cerpen siswa SMA se kabupaten Sarko-Jambi (1995).

Sejak 1998 belajar teater di STSI Padangpanjang. Aktif di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat, di Kuflet selalu dipercayakan sebagai skenografi oleh Sulaiman Juned. Pernah pentas di IKJ-TIM tahun 2000 bersama kelompok teater Hitam-Putih dalam lakon “Menunggu” karya/sutradara Yusril. Menulis drama, Diam (1999), Liliput (2000) Laskar Inong Bale (2001) Gerimis (2005), Amigdala (2006), Dharmasraya (2007), Tak Seindah itu(2007), Skizofrenia(2007), (dibalik Cinta Putri Nilam (2008), Darah-Dara (2008). Tulisan berbentuk essey, Seni Pertunjukan Implikasi Realitas Sastra (jurnal Eskpresi Seni, UPT Komindok STSI Padangpanjang terbit tahun 2000), “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah analisis Multi Disipliner terhadap karya Toni Aryadi”, Jurnal Palanta, UPT Komindok STSI Padangpanjang, “Tragedi Cantoi” Sulaiman Juned, Eksternalisasi Agarophobia, Jurnal Gema Seni UPT Komindok STSI Padangpanjang, (2007). Tulisan kritik seni, “Di atas langit masih Ada Langit: Peperangan Antara Etika dan Estetika” sebuah analisis terhadap karya Indah Panca Priyatiningrum, “Nritta Dewi” Menncari Bentuk, analisis multi dimensi terhadap karya tari Kadek Dewi Aryani, Jurnal Harian FKI No. 2, 4 Festival Kesenian Indonesia, Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. 2001. Artikel, Mencari Cinta dalam Perbedaan, Jurnal FKI, No 3, Festival Kesenian Indonesia, STSI padangpanjang, 2001. Cerpen, Kisah yang Belum Usai” tabloid Mahasiswa laga-laga Seni Budaya No. 211 Th XX No 3 tahun 1998 “Balada Cinta Pengamen Jalanan” Majalah Mashasiswa ‘Laga-Laga’ No 1 th 1 sem 1 tahun 2001. saat ini mengajar teater di SMKN I Padangpanjang. Aktif mencipta lagu-lagu Minang dan lagu Slow Rock. Mempersiapkan diri untuk melanjutkan Studi Pasca Sarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah. (Dek Jal Aceh)


Profil dan Jejak Kreatif Wiko Antoni
1. Identitas dan Peran
Nama: Wiko Antoni
Profesi: Pengajar, Seniman, dan Kreator Konten Edukatif
Bidang: Seni, Budaya, dan Sosial
Ciri Khas: Memadukan estetika puisi, drama, dan pengajaran dengan pendekatan yang membumi dan menyentuh.
Jejak Digital: Aktif di Facebook, Instagram, YouTube, dan Academia.edu
Misi: Menjadi pelopor puisi sinematik dan pendidik kreatif lintas medium.
2. Kegiatan Terkini
Judul Acara: Parade Musikalisasi Puisi dan Drama Musikal
Tanggal Acara: 12 Juli 2025
Tempat: Universitas Merangin
Deskripsi: Kolaborasi seni dan sastra dalam bentuk pertunjukan puisi musikal dan drama yang melibatkan mahasiswa, dosen, dan komunitas seni. Wiko Antoni berperan aktif sebagai pengarah artistik dan naratif.
3. Publikasi Media
Berita tentang kegiatan ini telah dipublikasikan di:
- Suara Utama: https://suarautama.id/kolaborasi-sastra-dan-pertunjukan-di-universitas-merangin-dengan-seniman/
- Satukomando: https://satukomando.com/nasional/kolaborasi-sastra-dan-pertunjukan-di-universitas-merangin-dengan-seniman-merangin/07/13/
4. Kontribusi dan Capaian
Wiko Antoni secara konsisten berkontribusi dalam:
Berikut adalah profil singkat
 
Karya dan Kontribusi:
Film:
Menjadi penulis skenario dan editor film Melati Dusun Tuo, sebuah film mahasiswa yang diproduksi tahun 2019.
Puisi dan Antologi:
Salah satu penyair dalam buku antologi Menguak Senyap bersama Asro Almurtawy dan rekan-rekan.
Penulis utama buku Analisis Puisi dalam Antologi Menguak Senyap (2024) yang mengulas karya-karya dalam antologi tersebut.
Biografi dan Kisah Inspiratif:
Penulis bersama Suci Rahayu dalam buku Yesi Elfisa: Peraih Gelar Doktor Terminal DA, yang Mengatasi Disabilitas dan Mengukir Prestasi (2025), sebuah karya inspiratif yang mengangkat perjuangan luar biasa.
Bersama M. Subhan, menulis Autobiografi Sulaiman Djuned (2023), yang mendokumentasikan perjalanan hidup tokoh seni dan sastra tersebut.
Musikalisasi Puisi dan Media Digital:
Aktif memproduksi musikalisasi puisi dengan sentuhan teknologi AI melalui kanal YouTube Melayu Rock, dengan tagar khas #mrockey.
Curriculum Vitae
Nama Lengkap: Wiko Antoni
Tempat, Tanggal Lahir: Rantau Panjang , Jambi, 04 April, 1978
Alamat Domisili: Universitas Merangin, Jambi – Indonesia
Email: wikoantoni@gmail.com 
Nomor HP / WhatsApp: +6285263324119
Akun Publik:
YouTube @sastrairama
Academia.edu
Instagram @wikoantoni
Pendidikan
S2 Pendidikan Seni Budaya, Universitas Negeri Padang (UNP)
S1 Seni Teater, STSI Padangpanjang (sekarang ISI Padangpanjang)
Pekerjaan
Dosen Tetap
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) & PGSD
Universitas Merangin
Bidang Keahlian
Sastra, budaya dan Teater
Pengajaran Sastra dan Drama
Penyutradaraan dan Penulisan Skenario
Kritik Budaya dan Refleksi Estetik
Produksi Video Edukasi dan Puisi Sinematik
Pengembangan Media Pembelajaran Berbasis YouTube dan AI
Dokumentasi dan Apresiasi Karya Seni Tradisi & Modern
Aktivitas Kreatif dan Profesional
Anggota Pendiri dan Ketua Komunitas Teater Kuflet Bangko
Anggota Komunitas Sastra IMAJI dan Sanggar Batin Penghulu Bangko
Kontributor buku Catatan Perang Seniman Aceh (2009)
Kontributor Ensiklopedi Penulis Indonesia (referensi: Kompasiana, Potret Online)
Anggota Pendiri UKM Pers Mahasiswa ISI Padangpanjang (Laga-Laga / Pituluik)
Penulis dan Sutradara Film YouTube:
Melati Dusun Tuo 
BPZM - Suara dari Tengah Ladang 
Kumpulan Puisi dan Musik AI 
Kreator Konten Edukatif & Sastra Digital di kanal @sastrairama
Cantoi: Eksternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
– dalam Catatan Perang Seniman Aceh
Menyimak Dzikir Alam, Tafsir Puitik Wiko Antoni
– Academia.edu
Jambo Inong Bale: Pandangan Ke-Acehan & Nasionalisme
– Blog WordPress
Blog & Media Digital
Blog WordPress:
wikoantoni8.wordpress.com
Blogspot (Indie Sinema):
wikoantoniindiesinema.blogspot.com
Kontributor Tetap di Platform Digital:
Kompasiana
Halaman Sekolah Kita
Mejailmiah.com
Potret Online
Lintas Gayo
YouTube edukatif (Sastra Irama, Bisik Pujangga, Mrockey)
Penghargaan & Validasi Jejak Karya
Tercatat dalam sejarah komunitas seni Komunitas Kuflet (Lintas Gayo)
Nama dan karya disebut dalam berbagai media nasional & blog seni
Jejak digital aktif di YouTube, Academia, dan blog sastra-budaya
Disebut sebagai pelopor pendekatan puisi sinematik dan edukatif berbasis AI
Rencana Pengembangan
Penguatan media pembelajaran daring dengan drama puisi berbasis video YouTube
Pengembangan puisi sinematik dengan teknologi AI
Pelibatan mahasiswa dalam pementasan teaterikal digital dan interpretatif
Proyek pengarsipan karya & perjalanan kreatif dalam format digital portofolio
Referensi Publikasi / Tautan Penting
YouTube: @sastrairama
Academia.edu: Wiko Antoni
Blog Refleksi Budaya di Scribd
Artikel Kompasiana
Potret Online - Sebelum Hijrah ke Padang Panjang
Lintas Gayo – Komunitas Kuflet
Blogspot: Indie Sinema
Catatan Tambahan
Wiko Antoni dikenal sebagai sosok seniman-peneliti yang memadukan kesenimanan, keilmuan, dan dedikasi pengajaran. Karya-karyanya melintasi batas formal akademik menuju ranah publik yang menyentuh, reflektif, dan mendalam. 

- Menyusun dan mengarahkan pertunjukan puisi dan teater
- Membina mahasiswa dalam proses kreatif sastra dan seni pertunjukan
- Mengembangkan media pembelajaran berbasis video dan kanal YouTube
- Menjembatani seni akademik dan komunitas melalui berbagai kolaborasi lintas disiplin
5. Visi dan Komitmen
Wiko Antoni berkomitmen menjadikan seni sebagai alat pendidikan dan penyadaran sosial. Ia memandang karya seni bukan sekadar hiburan, tetapi sebagai bentuk ekspresi spiritual, sosial, dan intelektual yang harus terus dirawat dengan jujur dan penuh integritas.

Rabu, 30 Juli 2025

Saatnya Puisi Memasuki Ranah Sinematik: kisah penyair Elliyas Zulkifli alias Bang Hoho" yang (tak) kesepian dari Tabir Lintas

Wiko Antoni 

Bisikan dari Sudut yang Terlupakan
Di sebuah kedai kopi yang remang di sudut Kampung Langit.  Tabir Lintas, Elliyas Zulkifli duduk sendirian. Ini bukan hal baru. Baginya, keramaian adalah latar, bukan panggung. Di atas meja kayu yang dingin, dua benda setia menemaninya: ponsel dengan layar yang retak di tepinya dan sebuah buku catatan kecil yang halamannya sudah mulai menguning. Keduanya adalah senjatanya, sekaligus tempatnya bersembunyi.
Ada semesta yang bergemuruh di dada Eliyas, namun hanya bisik yang sampai ke bibir. Ia adalah pengamat ulung, penonton baris pertama dari drama-drama kecil yang terlewatkan oleh dunia yang sibuk. Dan ia berjuang, setiap hari, untuk menerjemahkan apa yang dilihat dan dirasakannya.
Perjuangannya dimulai dengan kamera ponselnya. Baginya, benda itu bukan sekadar alat, melainkan perpanjangan dari matanya, sebuah jendela portabel menuju keheningan. Ia tidak memotret senyum lebar atau pemandangan megah yang lazim diunggah orang. Eliyas memburu yang lain.
Klik. Lensa kameranya menangkap retak pada dinding yang ditumbuhi lumut, membentuk pola seperti peta negeri antah-berantah.
Klik. Tetesan embun pada gelas es teh yang ditinggalkan, membiaskan cahaya lampu menjadi pelangi mini yang fana.
Klik. Tatapan kosong seorang pengemudi ojek online yang menunggu pesanan di bawah pohon, bahunya yang terkulai menceritakan kelelahan ribuan kilometer.
Foto-fotonya bisu, sering kali gelap, dan jarang sekali menampilkan wajah secara utuh. Ia hanya mengambil fragmen: jemari yang mengetuk meja, punggung yang membungkuk, atau bayangan yang memanjang di aspal saat senja. Bagi orang lain, itu mungkin hanya gambar-gambar aneh tanpa subjek yang jelas. Bagi Eliyas, itu adalah kejujuran.
Namun, foto saja tidak cukup. Gambar bisa membekukan waktu, tapi tidak bisa menggali jiwa. Di sinilah perjuangan keduanya dimulai: di halaman buku catatannya.
Setelah memandangi sebuah foto—misalnya, gambar seorang gadis yang menyisir rambut di balik jendela bus kota yang berdebu—Eliyas akan mulai menulis. Tangannya bergerak pelan, seolah menimbang setiap kata.
> Kaca jendela ini,
> adalah batas antara riuhmu dan sunyiku.
> Kau sisir rambutmu yang sehitam ragu,
> sementara bus melaju,
> membawa pergi satu lagi kemungkinan.
> Aku di sini, hanya membingkai pamit.
Kameranya adalah mata, dan puisinya adalah napas. Yang satu menangkap, yang satu memaknai. Ia menggabungkan keduanya, mengunggah foto sunyinya di media sosial dengan keterangan berupa bait-bait puisinya yang lirih.
Tentu saja, dunia digital adalah samudra yang luas dan berisik. Unggahannya sering kali tenggelam, hanya riak kecil di antara gelombang konten yang gegap gempita. Terkadang, rasa putus asa menyergap. Untuk apa semua ini? Siapa yang peduli pada retak di dinding atau embun di gelas ketika dunia menuntut kesempurnaan dan kemewahan?
Perjuangannya adalah perjuangan melawan rasa tak terlihat. Setiap "suka" yang ia dapat terasa seperti tepukan di bahu dari seorang kawan bisu. Setiap komentar, bahkan yang sesederhana "bagus," terasa seperti jawaban dari pesan dalam botol yang ia lempar ke lautan.
Suatu malam, setelah mengunggah foto bayangan sebatang pohon di dinding kamarnya dengan puisi tentang kesendirian, sebuah notifikasi muncul. Bukan dari temannya, melainkan dari akun tak bernama.
"Aku tidak tahu siapa kamu," tulis komentar itu, "tapi puisimu barusan membuatku merasa tidak terlalu sendirian malam ini. Terima kasih."
Eliyas membaca kalimat itu berulang kali. Hanya satu kalimat, dari orang asing. Tapi malam itu, di kamarnya yang temaram, kalimat itu terasa lebih terang dari ribuan lampu sorot. Perjuangannya bukan untuk didengar oleh semua orang. Perjuangannya adalah untuk berbisik kepada satu jiwa lain yang mungkin merasakan hal yang sama, di sudut lain dunia yang juga merasa terlupakan.
Ia tidak lagi merasa bertarung melawan kebisingan. Ia sadar, ia hanya perlu membangun ruang heningnya sendiri.
Eliyas mematikan lampu kamarnya. Dalam gelap, layar ponselnya menyala. Ia membuka galeri, menatap foto terakhir yang ia ambil: secangkir kopi yang sudah dingin, menyisakan ampas yang mengendap di dasar. Di kepalanya, sebuah kalimat mulai terbentuk.
Perjuangannya belum usai. Selama masih ada sunyi yang bisa dibingkai dan rasa yang bisa dirangkai, Eliyas Zulkifli akan terus ada di sudutnya, berbisik lewat lensa retak dan kata-kata. Dan itu, baginya, sudah lebih dari cukup.
Kampung Langit di Layar Persegi
Keberanian yang tumbuh dari satu komentar itu seperti benih yang jatuh di tanah subur. Eliyas Zulkifli, sang penyair bisu, mulai merasa bahwa bisikannya mungkin perlu diberi sedikit gema. Foto dan teks terasa seperti surat cinta yang tak pernah sampai. Ia ingin mengirimkan suaranya, membiarkan getarannya melintasi kabel-kabel digital.
Maka, dimulailah babak baru perjuangannya. Dengan uang tabungan yang tak seberapa, ia membeli sebuah tripod ringkih seharga dua cangkir kopi mahal. Benda itu menjadi kawan ketiganya, berdiri canggung di sudut kamar kosnya yang sempit, di antara tumpukan buku dan pakaian. Ponselnya yang setia, dengan layar yang masih menyisakan retak di tepinya, kini bertengger di puncak tripod itu, menatapnya seperti mata tunggal yang siap merekam.
Malam pertama adalah sebuah kegagalan yang canggung. Eliyas berdiri di depan kamera, lampu belajar menjadi penerang seadanya, menciptakan bayangan aneh di wajahnya. Ia mencoba membaca puisinya, tapi suara yang keluar tercekat di tenggorokan. Kata-kata yang begitu lincah di kepalanya menjadi kaku dan asing saat diucapkan. Ia merasa seperti seorang aktor yang lupa naskah di panggung terbesar di dunia, padahal penontonnya hanyalah lensa kamera yang dingin. Puluhan kali ia mencoba, puluhan kali pula ia menekan tombol "hapus".
Ia sadar, ia tidak bisa "tampil". Ia hanya bisa "menjadi".
Pada percobaan berikutnya, ia mengubah pendekatannya. Ia tidak lagi mencoba menghadap kamera. Sebaliknya, ia membiarkan kamera merekamnya dari samping. Ia duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding, dengan buku catatan di pangkuannya. Ia tidak mencoba membaca dengan intonasi seorang deklamator. Ia hanya berbisik, seolah-olah sedang menceritakan rahasia pada seorang teman yang duduk di sebelahnya.
“Di sudut kota yang lupa cara tidur…” suaranya lirih, sedikit bergetar, “aku titipkan rindu pada lampu jalan yang berkedip letih…”
Ia tidak melihat ke kamera. Matanya terpaku pada kata-kata di buku catatannya, atau kadang menerawang ke luar jendela, menatap langit malam yang kelabu. Latar belakangnya bukanlah studio yang bersih, melainkan kamarnya yang apa adanya: dinding yang catnya sedikit terkelupas, poster film lawas, dan bayangan rak buku. Justru ketidaksempurnaan itulah yang terasa jujur.
Setelah beberapa kali mencoba, ia akhirnya memiliki satu video yang dirasanya cukup "utuh". Sebuah rekaman berdurasi dua menit yang terasa sangat personal, sangat mentah.
Sekarang, ia butuh sebuah rumah untuk video-video ini. Sebuah tempat di mana bisikan-bisikannya bisa berkumpul. Ia membuka YouTube, jemarinya ragu-ragu mengetik di kolom pembuatan kanal. Nama apa yang cocok? Ia teringat pada langit malam yang sering ia tatap dari jendela kamarnya, sebuah kanvas luas yang menampung semua mimpi dan keresahan penduduk kota. Langit itu terasa seperti sebuah kampung besar yang dihuni oleh bintang-bintang yang kesepian.
Maka lahirlah kanal itu. "Kampung Langit".
Deskripsi kanalnya sederhana: “Sebuah tempat untuk kata-kata yang tersesat dan gambar-gambar yang terlupakan.”
Video pertama diunggah tanpa ekspektasi. Judulnya pun sederhana: "Puisi Sebelum Tidur #1". Tidak ada musik latar, hanya suaranya yang lirih dan suara napasnya sendiri. Selama seminggu, video itu hanya ditonton oleh segelintir orang, mungkin termasuk dirinya sendiri.
Namun, Eliyas tidak berhenti. Setiap beberapa hari sekali, ia akan mendirikan tripodnya, menyalakan kameranya, dan mulai berbisik. Ia merekam di berbagai tempat: di tepi sungai saat fajar, di halte bus yang sepi saat hujan, atau di kamarnya sendiri saat malam larut. Setiap video adalah sebuah fragmen dari dunianya, sebuah undangan untuk masuk ke dalam "Kampung Langit" miliknya.
Perlahan, satu per satu, para "penghuni" mulai berdatangan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang sama-sama menemukan ketenangan dalam keheningan. Komentar-komentar mulai bermunculan.
"Suaramu menenangkan, Mas. Seperti mendengarkan teman curhat."
"Aku kira cuma aku yang suka memperhatikan hal-hal kecil seperti ini."
"Terima kasih sudah membuatkan rumah untuk kami yang sering merasa asing, di Kampung Langit ini."
 Tripod ringkih dan ponsel retak itu telah menjadi gerbang menuju sebuah semesta baru, tempat di mana ekspresi dirinya tidak lagi menjadi perjuangan, melainkan sebuah perayaan.
ini bukanlah artikel yang membahas tentang puisi dengan sentuhan sinematik, lengkap dengan definisi, elemen kunci, dan contoh puisinya.
Menyulap Kata Menjadi Film: Seni Menulis Puisi Sinematik melainkan Sebuah cerita.
Pernahkah Anda membaca sebaris puisi dan merasa seolah-olah sedang menonton sebuah adegan film? Anda bisa melihat warna senja yang pekat, mendengar gemerisik daun yang terinjak, bahkan merasakan debaran jantung sang tokoh. Jika ya, Anda mungkin telah bersentuhan dengan apa yang disebut puisi sinematik.
Ini bukan sekadar puisi deskriptif biasa. Puisi sinematik adalah sebuah gaya penulisan di mana penyair bertindak sebagai sutradara, penulis skenario, dan penata kamera sekaligus. Setiap kata dipilih dengan cermat untuk membangun adegan, menggerakkan "kamera", dan membangkitkan emosi, mengubah halaman kosong menjadi layar imajinasi bagi pembaca.
Lalu, bagaimana cara menciptakan karya yang memiliki napas sinema?
Elemen Kunci Puisi Sinematik
Untuk menulis puisi sinematik, kita bisa meminjam beberapa teknik dari dunia perfilman. Anggaplah bait sebagai scene, baris sebagai shot, dan kata sebagai frame.
1. "Teknik Kamera" dalam Kata-kata
Seorang sutradara menggunakan berbagai jenis shot untuk mengarahkan perhatian penonton. Penyair bisa melakukan hal yang sama dengan permainan diksi dan detail.
 * Wide Shot (Gambaran Luas): Mulailah dengan deskripsi panorama untuk membangun latar tempat dan suasana.
   > Contoh: "Kaki langit Jakarta memerah saga, menelan gedung-gedung yang letih."
   > 
 * Medium Shot (Gambaran Menengah): Fokus pada subjek utama dalam latarnya, menunjukkan interaksi dan gerakan awal.
   > Contoh: "Di sudut kafe yang remang, seorang perempuan meniup uap dari cangkir kopinya."
   > 
 * Close-Up (Gambaran Dekat): Sorot detail-detail kecil yang kaya akan makna. Ini adalah momen untuk menunjukkan, bukan memberitahu.
   > Contoh: "Setitik air mata ragu, tersangkut di ujung bulu matanya."
   > 
 * Panning/Tracking Shot (Gerakan Kamera): Gunakan kata kerja aktif dan alur yang mengalir untuk menciptakan ilusi gerakan, seolah-olah mata pembaca sedang mengikuti sesuatu.
   > Contoh: "Pandangannya menyapu dari pintu kayu yang berderit, melintasi lantai berdebu, hingga berhenti pada sepatu tua di bawah meja."
   > 
2. Montase dan Tempo
Editing dalam film menentukan ritme dan tempo cerita. Dalam puisi, ini bisa dicapai melalui struktur baris dan bait.
 * Potongan Cepat (Fast Cuts): Gunakan baris-baris pendek dan padat, mungkin hanya satu atau dua kata, untuk menciptakan adegan yang cepat, penuh ketegangan, atau kacau.
 * Adegan Lambat (Slow Motion): Gunakan baris yang lebih panjang dengan enjambemen (peloncatan baris) yang halus untuk menciptakan nuansa kontemplatif, romantis, atau dramatis.
 * Jeda (Caesura): Sisipkan jeda atau tanda baca di tengah baris untuk menciptakan keheningan yang canggung atau momen penuh penekanan, sama seperti jeda dramatis dalam sebuah dialog film.
3. Desain Suara dan Musik Latar
Film hidup karena adanya suara. Puisi pun bisa memiliki soundscape-nya sendiri.
 * Onomatope: Gunakan kata-kata yang meniru bunyi (desir, detak, deru, decit) untuk menghidupkan suasana.
 * Aliterasi & Asonansi: Pengulangan bunyi konsonan atau vokal bisa menciptakan "musik" internal dalam puisi, membangun ritme yang mendukung suasana hati.
 * Keheningan: Terkadang, ketiadaan suara justru paling kuat. Deskripsikan kesunyian itu sendiri.
Contoh Puisi Sinematik
Berikut adalah contoh puisi yang mencoba menerapkan elemen-elemen di atas.
Judul: Peron Tiga
(SCENE START)
(WIDE SHOT)
Senja di stasiun kota.
Besi-besi rel memantulkan sisa ungu.
Lampu peron mulai menyala, satu-satu, ragu.
(MEDIUM SHOT)
Lelaki itu berdiri memunggungi jam.
Punggung jaketnya basah oleh gerimis yang tak diundang.
Tangannya mencengkeram tiket kertas yang lecek.
(SOUND - Ambience)
Sayup-sayup pengumuman dari pengeras suara,
terbata-bata,
berbaur dengan deru kipas angin raksasa di langit-langit.
(CLOSE-UP)
Asap rokoknya menari tipis,
sebelum mati diterpa angin.
Matanya memindai setiap wajah yang turun—
kosong,
kosong,
kosong.
(SOUND - Action)
Peluit kereta dari kejauhan.
Decit rem yang memekakkan, membelah penantian.
(TRACKING SHOT)
Pintu-pintu terbuka serentak.
Langkah-langkah bergegas turun,
payung-payung basah,
koper-koper terseret.
Matanya masih mencari,
sebuah bingkai yang tak kunjung terisi.
(FINAL SHOT)
Kereta telah hening.
Peron tiga kembali lengang.
Hanya ia, dan tiket tujuan yang tak pernah pulang.
(SCENE END)
Puisi sinematik adalah undangan bagi pembaca untuk tidak hanya membaca, tetapi juga melihat, mendengar, dan merasakan. Ia adalah jembatan antara kesunyian kata dan keramaian gambar. Jadi, saat Anda menulis selanjutnya, cobalah berpikir seperti sutradara. Pegang "kamera" Anda, atur adegan, dan biarkan imajinasi pembaca menjadi bioskop pribadinya.

Catan: Eliyas Zulkifli adalah penyair NASIONAL dari Tabir Raya Tabr Lintas.

Catatan Ringan : DARI IMAJINASI SENIMAN SAMPAI SKRIPSI MAHASISWA

"Menulis Skripsi Sastra: Dari Galau Jadi Guru Besar Imaginasi"

Sebuah Bimbingan Ringan Nan Menghibur untuk Mahasiswa Sastra yang (Katanya) Lagi Skripsi


1. Tentukan Tema Jangan Kayak Pilih Jodoh – Lama Tapi Gak Jadi

Tema skripsi sastra itu penting, tapi jangan dijadikan seperti pilih jodoh ideal: harus puitis, estetik, punya makna dalam, dan bisa diajak diskusi teori poskolonial.
Cukup pilih satu: yang kamu suka, yang bisa kamu pahami, dan yang ada bukunya.

πŸ“Œ Contoh tema:

  • Representasi Perempuan dalam Puisi-puisi Joko Pinurbo
  • Kritik Sosial dalam Novel Orang-Orang Proyek karya Ahmad Tohari
  • Unsur Mitos dalam Cerpen-cerpen Danarto

Kalau kamu sudah suka, nanti walau bab 2 tersesat ke dunia strukturalisme Levi-Strauss, kamu tetap kuat!


2. Kajian Teori Itu Kayak Bumbu Rendang – Jangan Cuma Satu!

Jangan cuma pakai satu teori biar skripsimu gak hambar. Pakai kombinasi: teori sastra + pendekatan.
Misalnya:

  • Teori Dekonstruksi + Pendekatan Feminisme
  • Strukturalisme Genetik + Teori Totem & Tabu (ehm, cocok buat kamu yang suka jungkir balik Freud)

Tapi ingat, jangan asal comot teori kayak ngambil mic di acara nikahan orang.


3. Objek Karya Jangan Terlalu Nyeleneh, Tapi Boleh Unik

Kalau kamu ngotot mau membahas puisi yang ditulis di balik bungkus gorengan tahun 1998, pikirkan kembali.
Objek sastra itu harus terbit, tersedia, dan bisa diteliti.

Tapi unik? Boleh!

Contoh:

  • Analisis lagu-lagu Iwan Fals sebagai puisi sosial
  • Cerita rakyat lokal versi ibu kamu sendiri (asal ada dokumentasi valid)
  • Film sebagai teks sastra modern (kalau dosenmu tidak gaptek)

4. Bab 1 Sampai Bab 5 Jangan Kamu Nikahi Satu-Satu

Ingat, skripsi bukan sinetron 1000 episode.
Buatlah alur berpikir jelas, mengalir dari:

  • BAB 1: Masalah → Rumusan → Tujuan → Manfaat
  • BAB 2: Teori, bukan cerita masa kecil tokoh teori
  • BAB 3: Metodologi – ini bukan tempat curhat cara cari objek
  • BAB 4: Pembahasan, bukan tempatmu menulis ulang karya sastra
  • BAB 5: Simpulan, bukan sambutan perpisahan

5. Jangan Takut Dosen Pembimbing – Mereka Juga Manusia (Katanya)

Kalau revisi? Terima.
Kalau dicoret-coret? Anggap itu tatto akademik.

Kalau dibalas WA 3 minggu kemudian? Jangan ngambek, bisa jadi mereka sedang membaca Derrida pakai kaca mata plus.


6. Selingi Skripsi dengan Kopi, Tapi Jangan Pacar Baru

Skripsi butuh stamina. Jangan terlalu serius sampai lupa mandi.
Tapi juga jangan terlalu santai sampai dikira kamu sedang ikut lomba “menunda hidup”.


Penutup:

Skripsi sastra itu bukan beban, tapi taman bermain teori dan rasa.
Kamu bisa menjadi seorang "pembaca kritis", "peneliti naratif", dan siapa tahu — penulis besar berikutnya.

Asal jangan menyerah hanya karena dibilang:

“Ini harus direvisi total, ya…”

Karena dari revisi-revisi itulah, skripsi jadi saksi bahwa kamu bisa berpikir dan bertahan hidup di dunia yang penuh tanda baca.


WIKO ANTONI adalah pengajar dan pemerhati Sastra 

KAULAH YUNIKU SAYANG

Akulah Yunimu Sayang: Puisi sebagai Refleksi Sufistik dan Psikologis atas Luka, Cinta, dan Jalan Pulang Penulis: Kembara Sukma --- πŸ“„ Abstra...