Wiko Antoni
Bisikan dari Sudut yang Terlupakan
Di sebuah kedai kopi yang remang di sudut Kampung Langit. Tabir Lintas, Elliyas Zulkifli duduk sendirian. Ini bukan hal baru. Baginya, keramaian adalah latar, bukan panggung. Di atas meja kayu yang dingin, dua benda setia menemaninya: ponsel dengan layar yang retak di tepinya dan sebuah buku catatan kecil yang halamannya sudah mulai menguning. Keduanya adalah senjatanya, sekaligus tempatnya bersembunyi.
Ada semesta yang bergemuruh di dada Eliyas, namun hanya bisik yang sampai ke bibir. Ia adalah pengamat ulung, penonton baris pertama dari drama-drama kecil yang terlewatkan oleh dunia yang sibuk. Dan ia berjuang, setiap hari, untuk menerjemahkan apa yang dilihat dan dirasakannya.
Perjuangannya dimulai dengan kamera ponselnya. Baginya, benda itu bukan sekadar alat, melainkan perpanjangan dari matanya, sebuah jendela portabel menuju keheningan. Ia tidak memotret senyum lebar atau pemandangan megah yang lazim diunggah orang. Eliyas memburu yang lain.
Klik. Lensa kameranya menangkap retak pada dinding yang ditumbuhi lumut, membentuk pola seperti peta negeri antah-berantah.
Klik. Tetesan embun pada gelas es teh yang ditinggalkan, membiaskan cahaya lampu menjadi pelangi mini yang fana.
Klik. Tatapan kosong seorang pengemudi ojek online yang menunggu pesanan di bawah pohon, bahunya yang terkulai menceritakan kelelahan ribuan kilometer.
Foto-fotonya bisu, sering kali gelap, dan jarang sekali menampilkan wajah secara utuh. Ia hanya mengambil fragmen: jemari yang mengetuk meja, punggung yang membungkuk, atau bayangan yang memanjang di aspal saat senja. Bagi orang lain, itu mungkin hanya gambar-gambar aneh tanpa subjek yang jelas. Bagi Eliyas, itu adalah kejujuran.
Namun, foto saja tidak cukup. Gambar bisa membekukan waktu, tapi tidak bisa menggali jiwa. Di sinilah perjuangan keduanya dimulai: di halaman buku catatannya.
Setelah memandangi sebuah foto—misalnya, gambar seorang gadis yang menyisir rambut di balik jendela bus kota yang berdebu—Eliyas akan mulai menulis. Tangannya bergerak pelan, seolah menimbang setiap kata.
> Kaca jendela ini,
> adalah batas antara riuhmu dan sunyiku.
> Kau sisir rambutmu yang sehitam ragu,
> sementara bus melaju,
> membawa pergi satu lagi kemungkinan.
> Aku di sini, hanya membingkai pamit.
>
Kameranya adalah mata, dan puisinya adalah napas. Yang satu menangkap, yang satu memaknai. Ia menggabungkan keduanya, mengunggah foto sunyinya di media sosial dengan keterangan berupa bait-bait puisinya yang lirih.
Tentu saja, dunia digital adalah samudra yang luas dan berisik. Unggahannya sering kali tenggelam, hanya riak kecil di antara gelombang konten yang gegap gempita. Terkadang, rasa putus asa menyergap. Untuk apa semua ini? Siapa yang peduli pada retak di dinding atau embun di gelas ketika dunia menuntut kesempurnaan dan kemewahan?
Perjuangannya adalah perjuangan melawan rasa tak terlihat. Setiap "suka" yang ia dapat terasa seperti tepukan di bahu dari seorang kawan bisu. Setiap komentar, bahkan yang sesederhana "bagus," terasa seperti jawaban dari pesan dalam botol yang ia lempar ke lautan.
Suatu malam, setelah mengunggah foto bayangan sebatang pohon di dinding kamarnya dengan puisi tentang kesendirian, sebuah notifikasi muncul. Bukan dari temannya, melainkan dari akun tak bernama.
"Aku tidak tahu siapa kamu," tulis komentar itu, "tapi puisimu barusan membuatku merasa tidak terlalu sendirian malam ini. Terima kasih."
Eliyas membaca kalimat itu berulang kali. Hanya satu kalimat, dari orang asing. Tapi malam itu, di kamarnya yang temaram, kalimat itu terasa lebih terang dari ribuan lampu sorot. Perjuangannya bukan untuk didengar oleh semua orang. Perjuangannya adalah untuk berbisik kepada satu jiwa lain yang mungkin merasakan hal yang sama, di sudut lain dunia yang juga merasa terlupakan.
Ia tidak lagi merasa bertarung melawan kebisingan. Ia sadar, ia hanya perlu membangun ruang heningnya sendiri.
Eliyas mematikan lampu kamarnya. Dalam gelap, layar ponselnya menyala. Ia membuka galeri, menatap foto terakhir yang ia ambil: secangkir kopi yang sudah dingin, menyisakan ampas yang mengendap di dasar. Di kepalanya, sebuah kalimat mulai terbentuk.
Perjuangannya belum usai. Selama masih ada sunyi yang bisa dibingkai dan rasa yang bisa dirangkai, Eliyas Zulkifli akan terus ada di sudutnya, berbisik lewat lensa retak dan kata-kata. Dan itu, baginya, sudah lebih dari cukup.
Kampung Langit di Layar Persegi
Keberanian yang tumbuh dari satu komentar itu seperti benih yang jatuh di tanah subur. Eliyas Zulkifli, sang penyair bisu, mulai merasa bahwa bisikannya mungkin perlu diberi sedikit gema. Foto dan teks terasa seperti surat cinta yang tak pernah sampai. Ia ingin mengirimkan suaranya, membiarkan getarannya melintasi kabel-kabel digital.
Maka, dimulailah babak baru perjuangannya. Dengan uang tabungan yang tak seberapa, ia membeli sebuah tripod ringkih seharga dua cangkir kopi mahal. Benda itu menjadi kawan ketiganya, berdiri canggung di sudut kamar kosnya yang sempit, di antara tumpukan buku dan pakaian. Ponselnya yang setia, dengan layar yang masih menyisakan retak di tepinya, kini bertengger di puncak tripod itu, menatapnya seperti mata tunggal yang siap merekam.
Malam pertama adalah sebuah kegagalan yang canggung. Eliyas berdiri di depan kamera, lampu belajar menjadi penerang seadanya, menciptakan bayangan aneh di wajahnya. Ia mencoba membaca puisinya, tapi suara yang keluar tercekat di tenggorokan. Kata-kata yang begitu lincah di kepalanya menjadi kaku dan asing saat diucapkan. Ia merasa seperti seorang aktor yang lupa naskah di panggung terbesar di dunia, padahal penontonnya hanyalah lensa kamera yang dingin. Puluhan kali ia mencoba, puluhan kali pula ia menekan tombol "hapus".
Ia sadar, ia tidak bisa "tampil". Ia hanya bisa "menjadi".
Pada percobaan berikutnya, ia mengubah pendekatannya. Ia tidak lagi mencoba menghadap kamera. Sebaliknya, ia membiarkan kamera merekamnya dari samping. Ia duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding, dengan buku catatan di pangkuannya. Ia tidak mencoba membaca dengan intonasi seorang deklamator. Ia hanya berbisik, seolah-olah sedang menceritakan rahasia pada seorang teman yang duduk di sebelahnya.
“Di sudut kota yang lupa cara tidur…” suaranya lirih, sedikit bergetar, “aku titipkan rindu pada lampu jalan yang berkedip letih…”
Ia tidak melihat ke kamera. Matanya terpaku pada kata-kata di buku catatannya, atau kadang menerawang ke luar jendela, menatap langit malam yang kelabu. Latar belakangnya bukanlah studio yang bersih, melainkan kamarnya yang apa adanya: dinding yang catnya sedikit terkelupas, poster film lawas, dan bayangan rak buku. Justru ketidaksempurnaan itulah yang terasa jujur.
Setelah beberapa kali mencoba, ia akhirnya memiliki satu video yang dirasanya cukup "utuh". Sebuah rekaman berdurasi dua menit yang terasa sangat personal, sangat mentah.
Sekarang, ia butuh sebuah rumah untuk video-video ini. Sebuah tempat di mana bisikan-bisikannya bisa berkumpul. Ia membuka YouTube, jemarinya ragu-ragu mengetik di kolom pembuatan kanal. Nama apa yang cocok? Ia teringat pada langit malam yang sering ia tatap dari jendela kamarnya, sebuah kanvas luas yang menampung semua mimpi dan keresahan penduduk kota. Langit itu terasa seperti sebuah kampung besar yang dihuni oleh bintang-bintang yang kesepian.
Maka lahirlah kanal itu. "Kampung Langit".
Deskripsi kanalnya sederhana: “Sebuah tempat untuk kata-kata yang tersesat dan gambar-gambar yang terlupakan.”
Video pertama diunggah tanpa ekspektasi. Judulnya pun sederhana: "Puisi Sebelum Tidur #1". Tidak ada musik latar, hanya suaranya yang lirih dan suara napasnya sendiri. Selama seminggu, video itu hanya ditonton oleh segelintir orang, mungkin termasuk dirinya sendiri.
Namun, Eliyas tidak berhenti. Setiap beberapa hari sekali, ia akan mendirikan tripodnya, menyalakan kameranya, dan mulai berbisik. Ia merekam di berbagai tempat: di tepi sungai saat fajar, di halte bus yang sepi saat hujan, atau di kamarnya sendiri saat malam larut. Setiap video adalah sebuah fragmen dari dunianya, sebuah undangan untuk masuk ke dalam "Kampung Langit" miliknya.
Perlahan, satu per satu, para "penghuni" mulai berdatangan. Mereka adalah jiwa-jiwa yang sama-sama menemukan ketenangan dalam keheningan. Komentar-komentar mulai bermunculan.
"Suaramu menenangkan, Mas. Seperti mendengarkan teman curhat."
"Aku kira cuma aku yang suka memperhatikan hal-hal kecil seperti ini."
"Terima kasih sudah membuatkan rumah untuk kami yang sering merasa asing, di Kampung Langit ini."
Tripod ringkih dan ponsel retak itu telah menjadi gerbang menuju sebuah semesta baru, tempat di mana ekspresi dirinya tidak lagi menjadi perjuangan, melainkan sebuah perayaan.
ini bukanlah artikel yang membahas tentang puisi dengan sentuhan sinematik, lengkap dengan definisi, elemen kunci, dan contoh puisinya.
Menyulap Kata Menjadi Film: Seni Menulis Puisi Sinematik melainkan Sebuah cerita.
Pernahkah Anda membaca sebaris puisi dan merasa seolah-olah sedang menonton sebuah adegan film? Anda bisa melihat warna senja yang pekat, mendengar gemerisik daun yang terinjak, bahkan merasakan debaran jantung sang tokoh. Jika ya, Anda mungkin telah bersentuhan dengan apa yang disebut puisi sinematik.
Ini bukan sekadar puisi deskriptif biasa. Puisi sinematik adalah sebuah gaya penulisan di mana penyair bertindak sebagai sutradara, penulis skenario, dan penata kamera sekaligus. Setiap kata dipilih dengan cermat untuk membangun adegan, menggerakkan "kamera", dan membangkitkan emosi, mengubah halaman kosong menjadi layar imajinasi bagi pembaca.
Lalu, bagaimana cara menciptakan karya yang memiliki napas sinema?
Elemen Kunci Puisi Sinematik
Untuk menulis puisi sinematik, kita bisa meminjam beberapa teknik dari dunia perfilman. Anggaplah bait sebagai scene, baris sebagai shot, dan kata sebagai frame.
1. "Teknik Kamera" dalam Kata-kata
Seorang sutradara menggunakan berbagai jenis shot untuk mengarahkan perhatian penonton. Penyair bisa melakukan hal yang sama dengan permainan diksi dan detail.
* Wide Shot (Gambaran Luas): Mulailah dengan deskripsi panorama untuk membangun latar tempat dan suasana.
> Contoh: "Kaki langit Jakarta memerah saga, menelan gedung-gedung yang letih."
>
* Medium Shot (Gambaran Menengah): Fokus pada subjek utama dalam latarnya, menunjukkan interaksi dan gerakan awal.
> Contoh: "Di sudut kafe yang remang, seorang perempuan meniup uap dari cangkir kopinya."
>
* Close-Up (Gambaran Dekat): Sorot detail-detail kecil yang kaya akan makna. Ini adalah momen untuk menunjukkan, bukan memberitahu.
> Contoh: "Setitik air mata ragu, tersangkut di ujung bulu matanya."
>
* Panning/Tracking Shot (Gerakan Kamera): Gunakan kata kerja aktif dan alur yang mengalir untuk menciptakan ilusi gerakan, seolah-olah mata pembaca sedang mengikuti sesuatu.
> Contoh: "Pandangannya menyapu dari pintu kayu yang berderit, melintasi lantai berdebu, hingga berhenti pada sepatu tua di bawah meja."
>
2. Montase dan Tempo
Editing dalam film menentukan ritme dan tempo cerita. Dalam puisi, ini bisa dicapai melalui struktur baris dan bait.
* Potongan Cepat (Fast Cuts): Gunakan baris-baris pendek dan padat, mungkin hanya satu atau dua kata, untuk menciptakan adegan yang cepat, penuh ketegangan, atau kacau.
* Adegan Lambat (Slow Motion): Gunakan baris yang lebih panjang dengan enjambemen (peloncatan baris) yang halus untuk menciptakan nuansa kontemplatif, romantis, atau dramatis.
* Jeda (Caesura): Sisipkan jeda atau tanda baca di tengah baris untuk menciptakan keheningan yang canggung atau momen penuh penekanan, sama seperti jeda dramatis dalam sebuah dialog film.
3. Desain Suara dan Musik Latar
Film hidup karena adanya suara. Puisi pun bisa memiliki soundscape-nya sendiri.
* Onomatope: Gunakan kata-kata yang meniru bunyi (desir, detak, deru, decit) untuk menghidupkan suasana.
* Aliterasi & Asonansi: Pengulangan bunyi konsonan atau vokal bisa menciptakan "musik" internal dalam puisi, membangun ritme yang mendukung suasana hati.
* Keheningan: Terkadang, ketiadaan suara justru paling kuat. Deskripsikan kesunyian itu sendiri.
Contoh Puisi Sinematik
Berikut adalah contoh puisi yang mencoba menerapkan elemen-elemen di atas.
Judul: Peron Tiga
(SCENE START)
(WIDE SHOT)
Senja di stasiun kota.
Besi-besi rel memantulkan sisa ungu.
Lampu peron mulai menyala, satu-satu, ragu.
(MEDIUM SHOT)
Lelaki itu berdiri memunggungi jam.
Punggung jaketnya basah oleh gerimis yang tak diundang.
Tangannya mencengkeram tiket kertas yang lecek.
(SOUND - Ambience)
Sayup-sayup pengumuman dari pengeras suara,
terbata-bata,
berbaur dengan deru kipas angin raksasa di langit-langit.
(CLOSE-UP)
Asap rokoknya menari tipis,
sebelum mati diterpa angin.
Matanya memindai setiap wajah yang turun—
kosong,
kosong,
kosong.
(SOUND - Action)
Peluit kereta dari kejauhan.
Decit rem yang memekakkan, membelah penantian.
(TRACKING SHOT)
Pintu-pintu terbuka serentak.
Langkah-langkah bergegas turun,
payung-payung basah,
koper-koper terseret.
Matanya masih mencari,
sebuah bingkai yang tak kunjung terisi.
(FINAL SHOT)
Kereta telah hening.
Peron tiga kembali lengang.
Hanya ia, dan tiket tujuan yang tak pernah pulang.
(SCENE END)
Puisi sinematik adalah undangan bagi pembaca untuk tidak hanya membaca, tetapi juga melihat, mendengar, dan merasakan. Ia adalah jembatan antara kesunyian kata dan keramaian gambar. Jadi, saat Anda menulis selanjutnya, cobalah berpikir seperti sutradara. Pegang "kamera" Anda, atur adegan, dan biarkan imajinasi pembaca menjadi bioskop pribadinya.
Catan: Eliyas Zulkifli adalah penyair NASIONAL dari Tabir Raya Tabr Lintas.